Ketika Ibu Jari Membatalkan Pahala Puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut “Shiyam” atau “Shaum” yang artinya “menahan diri”. Sedangkan dalam kitab Fathul Qorib karya Syeikh Al-Imam Al-‘Alim Al-Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i, halaman 49 cetakan ke 1 Daarul ‘ibad, Kediri, dijelaskan bahwa puasa menurut syari’at adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan disertai niat tertentu oleh orang yang dapat diterima puasanya, yaitu orang yang beragama Islam, berakal, sehat, dan suci dari haid dan nifas.

Allah berfirman dalam QS al-Baqarah, 183:

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

 “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa seperti juga yang telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa”.

Ayat tersebut merupakan landasan syariah kewajiban melaksanakan puasa Ramadan. Ayat tersebut berisikan tentang seruan Allah Swt kepada orang-orang beriman untuk berpuasa. Puasa Ramadhan hukumnya adalah wajib, yakni apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan mendapatkan dosa. Setelah kita mengetahui pengertian dan hukum puasa Ramadhan maka kita juga harus tahu tingkatan orang berpuasa, Mengutip  pesan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, juz 1, halaman 235, puasa itu dibagi menjadi tiga tingkatan:

:إعلم أن الصوم ثلاث درجات صوم العموم وصوم الخصوص وصوم خصوص الخصوص

٠١  وأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة كما سبق تفصيله

٠٢ وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام

٠٣ وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الهضم الدنية والأفكار الدنيوية وكفه عما سوى الله عز وجل بالكلية ويحصل الفطر في هذا الصوم بالفكر فيما سوى الله عز وجل واليوم الآخر

Pertama, puasanya orang awam

Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya, Inilah puasa orang awam. Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara syari’at.

Kedua, puasanya orang khusus

Kedua disebut sebagai shaumul khushus atau puasanya orang-orang spesial. Mereka berpuasa lebih dari sekadar untuk menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan. Tapi mereka juga berpuasa untuk menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat. Mulutnya bukan saja menahan diri dari mengunyah, tapi juga menahan diri dari menggunjing, bergosip, apalagi memfitnah.

Ketiga, Puasa Orang Super-Khusus

Ini level yang paling tinggi menurut klasifikasi Imam Al-Ghazali, disebut shaumul khushusil khushus. Inilah praktik puasanya orang-orang istimewa. Mereka tidak saja menahan diri dari maksiat, tapi juga menahan hatinya dari keraguan akan hal-hal keakhiratan. Menahan pikirannya dari masalah duniawi, serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah.

Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah, seperti cenderung memikirkan harta dan kekayaan dunia. Puasa kategori level ketiga ini adalah puasanya para nabi, shiddiqin dan muqarrabin, sementara di level kedua adalah puasanya orang-orang sholeh.

Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya. Semoga puasa kita tidak bersifat formalitas, tetapi juga bermanfaat dan berdampak positif. Lantas, sudah berada dimana tingkatan puasa kita selama ini ?

Upaya Imam Al-Ghazali mengklasifikasi orang berpuasa ke dalam tiga level tersebut, tak lain tujuannya adalah agar kita yang setiap tahun berpuasa Ramadhan bisa menapaki tangga yang lebih tinggi dalam kualitas ibadah puasanya. Dalam Hadist yang juga tertuang dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, juz 1, halaman 235 yang diriwayatkan oleh Jabir dari Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda :

خَمْسٌ يُفْـطِرْنَ الصَّائِمَ: الْكَـذِبُ، وَالْغِيْبَةُ، وَالنَّمِيْمَةُ، وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ، وَالْيَمِيْنُ الْكَـاذِبُ

“Lima hal yang membatalkan pahala puasa: kebohongan, ghibah, adu domba, melihat dengan syahwat dan sumpah palsu”.

Pertama, berdusta. Berdusta merupakan perbuatan buruk yang timbul dari lisan. Lisan berucap tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati. Begitu pula dalam perbuatan, perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya.

Kedua, ghibah (menggunjing). Ghibah merupakan membicarakan tentang keburukan orang lain meski perkataan tersebut benar.

Ketiga, mengadu domba (namimah). Perbuatan namimah berpangkal dari kebencian. Tidak senang melihat orang rukun dan damai. Pelaku namimah akan berusaha menjadikan ke dua belah pihak agar saling bertengkar, sehingga tidak sedikit berawal dari adanya pertengkaran, seseorang berani menumpahkan darah sesamanya.

Keempat, bersumpah palsu. Hal ini berkaitan dengan ucapan dan keterangan seorang saksi dalam sebuah pengadilan yang biasa disumpah dengan nama Allah. Jika seorang saksi memberikan keterangan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, maka ia telah berbohong atas nama Allah. Bersumpah palsu berbahaya karena dapat menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lain yang mengakibatkan tertutupnya kebenaran dengan kesalahan.

Kelima, memandang dengan syahwat. Tujuan berpuasa untuk mengendalikan hawa nafsu, menundukkan dan menahan pandangan untuk tidak melihat secara bebas kepada segala sesuatu yang dicela dan dibenci serta kepada segala sesuatu yang melalaikan diri untuk mengingat kepada Allah.

Kelima hal tersebut tidak hanya dapat dilakukan oleh individu secara langsung, akan tetapi baik disadari atau tidak, jempol tangan atau ibu jari bersama gadget nya juga terkadang berperan menjadi lantaran batalnya pahala puasa, melalui media sosial, seperti akun Youtube, Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram atau yang lainnya. Apalagi saat ini dunia maya banyak dimunculkan informasi bohong dan berita palsu atau lebih dikenal dengan istilah “hoax” oleh sejumlah oknum yang tidak bertanggungjawab.

Jika tidak ada kehati-hatian, netizen pun dengan mudah termakan tipuan hoax tersebut bahkan ikut menyebarkan informasi palsu, tentunya akan sangat merugikan bagi pihak korban fitnah. Sudah banyak, bahkan tak terhitung teman-teman kita di media sosial yang mengingatkan teman yang lain untuk berpikir sebelum bicara, tabayyun sebelum menulis suatu hal, klarifikasi sebelum share status. Namun status ngawur-ngawuran, komen fitnah maupun yang mendekati fitnah, saling tudingan kanan-kiri, share berita bohong semakin merajalela.

Seyogyanya media sosial bisa jadi ajang kampanye positif seperti berdakwah, kajian-kajian ilmu, sarana tolong-menolong, dan lain sebagainya. Tapi tidak kalah banyak yang menggunakannya untuk ajang hujat dan caci maki. Tanpa sadar, kita menikmatinya.

Lho? Iya, saat menyalurkan kebencian sambil jempol sibuk di smartphone itu otak kita juga menyemburkan dopamine. Dopamine adalah neurotransmitter di dalam otak yang mengatur perasaan senang, puas, dan nikmat. Apalagi kalau status kita direspons oleh status lain baik yang mendukung maupun yang balik mencaci. Semburannya makin kencang ketika kita merasa “menang” saling hujat atau lawan berantem kita lalu diam saja. Kepuasannya semakin menjadi-jadi.

Dalam kerumunan, individu menjadi anonymous, kehilangan identitas, kehilangan tanggung jawab pribadinya, secara ekstrim kehilangan rasa malunya, rasa hormatnya pada manusia lain di luar kelompoknya (out-group), bahkan moralitas bisa lenyap. Apalagi banyak akun media sosial yang tidak menunjukkan identitas sebenarnya.

Ada yang pernah ikut demonstrasi?

Bersama ribuan orang kita berteriak-teriak menuntut sesuatu, dengan satu-dua provokasi setiap orang bisa jadi beringas dan berani melakukan apa saja. Hanya meriam air dan gas air mata yang bisa membubarkannya. Kerumunan ini tidak hanya di jalanan, tapi juga di dunia maya, kebencian akan semakin menjadi apabila ada provokasi, apalagi yang memprovokasi satu “kelompok” dengan kita (in-group), bisa kelompok agama, kelompok suku, kelompok preferensi, bahkan hanya karena warna baju yang sama. Maka, sebaiknya kita lebih berhati-hati agar tidak melakukan perbuatan keji tersebut apalagi di bulan Ramadhan ini.

Ada banyak orang mampu serta berhasil melaksanakan puasa dengan menjaga segala sesuatu yang membatalkan puasa, akan tetapi banyak pula yang kemudian kehilangan pahalanya puasa. Sehingga dari puasanya tak lain hanyalah lapar dan dahaga saja yang didapatkan, sebagaimana Hadis Nabi SAW:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).

Puasa seharusnya tidak hanya tentang usaha mencegah dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Lebih dari itu, puasa sebaiknya harus menjadi momentum untuk meninggalkan maksiat yang dapat menggugurkan pahalanya puasa, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (melalui Handphone), Jika selama ini puasa kita masih seperti puasanya orang awam, semoga saat ini dan kedepannya puasa kita meningkat menjadi puasanya orang khusus atau bahkan mendekati puasanya orang yang super khusus, sehingga puasa kita diterima oleh Alloh SWT dan juga mendapatkan pahala yang utuh lantaran dapat menghindari hal-hal yang dapat menghilangkan pahala puasa. Mari senantiasa kita pupuk ketaatan kepada Alloh SWT dengan meningkatkan ibadah baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

Pewarta : (Nur-Cahya)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *