Amalan Di Malam Nishfu Sya’ban, Bid’ah Atau Sunnah?

Diantara waktu yang ada, terdapat saat-saat istimewa yang Allah swt berikan kepada hambanya. Salah satu waktu istimewa tersebut ialah malam Nishfu Sya’ban. Nishfu sya’ban yang berarti pertengahan bulan atau tanggal 15 bulan sya’ban, pada kesempatan ini insya Alloh bertepatan tanggal 18 Maret 2022. Ketika malam nishfu sya’ban tiba, banyak kita jumpai di masjid-masjid, mushola atau langgar masyarakat di Nusantara setelah usai sholat maghrib berjamaah, bersama-sama mereka membaca Al-Qur’an surat Yasin 3 kali. Yasin yang pertama diniatkan agar memiliki umur panjang serta kemampuan untuk taat kepada Alloh. Yasin yang kedua diniatkan agar terjaga dari keburukan dan dilapangkan rizkinya. Yasin yang ketiga diniatkan agar hati menjadi tenang, tentram dan kusnul khotimah, lalu berdo’a dengan do’a nishfu sya’ban dengan harapan agar hajatnya dikabulkan oleh Allah, dan mendapatkan kebahagiaan dunia serta akhirat, serta melakukan amalan-amalan yang lainnya.

Lantas bagaimana sebenarnya hukum menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan melakukan serangkaian amal-amal ibadah? bid’ah atau sunnah?. Ketika sebagaian umat islam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan amal-amal kebajikan maka disaat itu pula terdapat sebagian umat islam yang lain yang menentang akan hal itu dengan mengatakan bahwa tiada dalil yang shohih untuk melakukan amalan tersebut.
Bagi sebagian umat islam yang mengagungkan dan melakukan amalan pada malam nishfu sya’ban, berikut ini adalah diantara dalilnya :

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ عَن ِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyahin (orang munafik yang menebar kebencian antar sesama umat Islam)” (HR Thabrani fi Al Kabir no 16639, Daruquthni fi Al Nuzul 68, Ibnu Majah no 1380, Ibnu Hibban no 5757, Ibnu Abi Syaibah no 150, Al Baihaqi fi Syu’ab al Iman no 6352, dan Al Bazzar fi Al Musnad 2389)

Menghidupkan malam nishfu sya’ban dipopulerkan oleh para Tabi’in yakni generasi setelah Sahabat Nabi di Syam Syria, seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan sebagainya, mereka mengagungkannya dengan beribadah di malam tersebut. Dari mereka inilah kemudian orang-orang mengambil keutamaan Nishfu Sya’ban.” Kata Syaikh al-Qasthalani dalam Mawahib al-Ladunniyah II/259 yang mengutip dari Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma’arif 151. Diketahui bahwa Khalid bin Ma’dan dan Makhul adalah perawi Sahih. Andaikan mereka melakukan Bidah di malam Nishfu Sya’ban maka sudah pasti Imam Bukhari dan Muslim akan mencoret namanya dari daftar perawi Sahih.
Seorang ulama bernama Syekh Abdullah Muhammad al-Ghimari juga menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan keutamaan-keutamaan malam tersebut. Risalah tersbut berjudul Husnul Bayan fi Lailatin Nishfi min Sya’ban. Pada setiap tahun banyak masyarakat yang menanyakan tentang amalan serta doa-doa malam Nisfu Sya’ban kepada beliau, oleh karena itu risalah tersebut beliau tulis. Syekh Abdullah menuliskannya dalam risalah kecil setebal 42 halaman. Risalah ini disarikan dari beberapa kitab-kitab besar terkait. Seperti kitab Al-Idhah karya Ibnu Hajar Al-Haitami, kitab Ma Ja’a fi Syahri Sya’ban karya Al-Hafidz Abu al-Khatib Dihyah al-Andalusi dan Fi Lailatin Nishfi karya Al-Ajhuri yang merupakan seorang Syekh bermadhab maliki.

Diantara hadist yang Syekh Abdullah paparkan dalam kitabnya adalah

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطَّلِعَ الْفَجْرَ

Artinya: “Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman: “Ingatlah orang yang memohon ampunan kepadaKu maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada–Ku maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada–Ku maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba.” atsar yang dikutip Syekh Abdullah adalah riwayat Nauf al-Bikali.

Selain membaca surat yasin, berdzikir dan memanjatkan do’a, ada juga yang melaksanakan sholat sunnah khusus yang dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban, dalam hal ini, menurut Syekh Abdullah dalil tentang sholat sunnah tersebut adalah bersumber dari hadis-hadis palsu (maudhu’) dan tidak boleh diamalkan.

مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً يِقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ شُفِّعَ فِيْ عَشَرَةٍ لَم يخرُجْ حتى يَرَى مَقعدَه من الجنةِ

Artnya: “Siapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, pada setiap raka’at ia membaca ‘Qul Huwallâhu Ahad’ tiga puluh kali, niscaya ia tidak akan meninggal dunia sebelum diperlihatkan surga baginya.” Setelah penguraian semua itu, Syekh Abdullah meringkasnya di akhir risalah sepanjang tiga halaman dan ditutup dengan syair pujian untuk keluarga Nabi Muhammad saw sebanyak 23 bait.

Meski begitu, menurut Syekh Abdullah, para ulama berbeda pendapat soal bagaimana urutan dan tatacara yang tepat untuk menghidupkan malam mulia itu. Apakah bisa dilakukan dengan bersama-sama (berjama’ah) atau harus sendiri-sendiri? Apakah menambahkan ibadah di dalamnya termasuk bid’ah atau tidak? Semuanya memiliki argumen masing-masing. Melihat realita itu, beliau memilih untuk tidak membid’ahkan. Meskipun beberapa dalil tentang amalam malam Nisfu Sya’ban itu berupa hadis dha’if, atau bahkan mungqathi’, itu dianggap cukup karena amalan malam Nisfu Sya’ban merupakan dari fadha’ilul a’mal yaitu bentuk amal ibadah yang dianjurkan sebagai pendorong untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Belum lagi dasar amalan malam Nisfu Sya’ban terdapat dalam hadis yang tercatat dalam Sahih Muslim. Tentu, menurut Syekh Abdullah, ini lebih menguatkan kebasahan amalan malam Nisfu Sya’ban itu. Hadis itu diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra berikut :

وعن جابر – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْتُ رسولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يقول: إنَّ في اللَّيْلِ لَسَاعَةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْألُ الله تَعَالَى خَيْرًا مِنْ أمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، إِلاَّ أعْطَاهُ إيَّاهُ، وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ». رواه مسلم.

Dari Jabir ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya pada malam hari itu ada satu waktu yang tidaklah seorang muslim tepat pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah pasti memberikannnya kepadanya. Dan waktu itu ada pada setiap malam.” (HR Muslim).

Sebagaimana disinyalir dari nu.or.id amalan seperti itu tidaklah diharamkan dalam agama, karena masuk dalam kategori bertawsshul dengan amal salih. Seperti yang dijelaskan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani rahimahullah seorang Habaib sekaligus ‘alim ulama dari Makkah, dalam kitabnya yang khusus membahas tntang bulan Sya’ban berjudul ” Syahru Sya’ban Maadza Fiiha “, Beliau mengatakan: Membaca surah yasin dengan niat meminta kebaikan dunia dan akhirat atau membaca Al-Qur’an seluruhnya sampai khatam semua itu tidak diharamkan juga tidak dilarang. Maka adapun syaratnya ialah Ikhlasnya niat melakukan karena Allah SWT serta tidak meyakini bahwa amalan tersebut secara khusus disyari’atkan.

Menurut Syekh Abdullah, keutamaan malam Nisfu Sya’ban ini sudah populer sejak dulu. Saat malam itu tiba, orang-orang akan menghidupkan malam dengan beribadah, memanjatkan doa dan membaca dzikir-dzikir. Syekh Abdullah merekomendasikan doa yang memiliki dasar dalam al-Quran. Berikut redaksi doanya:

يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْهِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا ذَا الطُّولِ وَالْإِنْعَامِ، لَا إله إِلَّا أَنْتَ ظَهْرُ اللَّاجِئِينَ، وَجَارُ الْمُسْتَجِيرِينَ، وَمَأْمَنُ الْخَائِفِينَ. اَللهم إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي عِنْدَكَ (فِي أُمِّ الْكِتَابِ) شَـقِـيًا أَوْ مَحْـرُومًـا أَوْ مَطْرُودًا أَوْ مُقْتَرًا عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ، فَامْحُ اللهم بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَطَرْدِي وَإِقْتَارَ رِزْقِي، وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ سَعِيدًا مَرْزُوقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرِ فإنك تقول في كتابك الذي أنزلت (يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ)

Sementara sambungan doa setelahnya adalah tambahan dari Syekh Ma’ul ‘Ainain as-Syinqithi. Berikut redaksinya :

إِلٰهِي بِالتَّجَلِّي الْأَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمَ الَّتِي يُفْرَقُ فِيهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ وَيُبْرَمُ، أَسْأَلُكَ أَنْ تَكْشَفَ عَنَّا مِنَ الْبَلَاءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لَا نَعْلَمُ ، وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ ، إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Ketika seseorang membaca surah Yasin tiga 3 kali, 30 kali atau 300 kali, bahkan ia membaca Al-Quran sampai khatampun ikhlas karna Allah SWT. Serta mengharap hajatnya dikabulkan, keinginannya ditunaikan, kesusahannya dihilangkan, penyakitnya disembuhkan dan hutang-hutangnya dilunaskan. Maka apa semua itu pantas dianggap berdosa sedangkan Allah menyukai hamba yang meminta-minta kepadanya segala sesuatu?. Sedangkan ia hadapkan kepada Allah dengan bacaan surah yasin atau sholawat kepada nabi SAW. Semua itu hanya sebagai perantara dalam bertawassul dengan Amal amal saleh. Dan tiada seorangpun dari umat islam yang mengkhilafkan tawassul dengan amal saleh. Maka siapa saja yang berpuasa, sembahyang atau membaca Al-Qur’an dan bershodaqoh maka sesungguhnya ia bertawasshul dengan shalatnya, puasanya, bacaanya dan sedekahnya.

Pewarta : Putri Nur Indah Cahya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *